Begini Rasanya Bila Guru Laki-Laki Mengajar Kelas 1



Kebanyakan guru laki-laki menolak untuk mengajar kelas satu Sekolah Dasar. Tapi saya tidak, meskipun mulai dari awal pengangkatan saya sebagai guru, sepuluh tahun yang lalu, saya selalu mengajar kelas enam. Ketika rapat pembagian tugas mengajar saya mendapat tugas dari kepala sekolah untuk mengajar di kelas satu. Saya terima tugas itu tanpa harus berpikir berkali-kali atau berhari-hari. Sebagai guru yang ber SK-kan guru kelas, pantang menolak tugas mengajar di kelas manapun. Baik kelas 1, kelas 2, kelas 3 atau kelas lain asalkan masih tingkat sekolah dasar harus siap.

Sebenarnya keinginan untuk mengajar kelas satu sudah ada sejak dua tahun sebelumnya. Keinginan itu muncul ketika ada rasa jenuh ketika mengajar kelas yang sama dari tahun ke tahun, ingin tantangan lain dan saya rasa tantangan yang paling menantang bagi guru SD laki-laki, apalagi yang masih tergolong muda, seperti saya :), adalah mengajar kelas satu SD.

Banyak cerita ketika mengajar kelas satu. Kalau dipersentase, yang paling banyak persentasenya adalah cerita menyenangkan. Pertama kali saya masuk kelas satu, ternyata anak kelas 1 berbeda sekali dengan anak kelas 6. Anak kelas 1 kelihatan kecil-kecil, aktif bergerak, sangat ramai, dan sempat shock sebentar ketika pertama kali mengajar mereka. Ada anak menangis karena dipukul temannya, ada juga yang menangis setelah memukul temannya, ada anak yang memukul-mukul meja, ada anak yang naik kursi, naik meja, ada yang lari ke sana kemari, sampai saya diam tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya bicara tidak didengarkan karena suara saya kalah keras dengan suara mereka. Kalaupun mereka mau diam, itupun hanya dalam hitungan detik setelah itu ramai lagi. Saya hanya geleng-geleng kepala.



Ada beberapa siswa yang takut dengan saya tanpa alasan yang jelas, menatap saya saja tidak berani. Padahal saya terus pasang muka senyum semanis yang saya mampu dan saya rasa, saya tidak seseram bintang film horor tahun 80-an. Mereka yang takut dengan saya mengajak orangtuanya masuk ke dalam kelas minta ditunggui dan tidak mau ditinggal sehingga saya harus ngajar anak-anak dengan diawasi orang tua mereka. Mengajar diawasi orangtua seperti  ini lebih deg-degan dari pada diawasi pengawas sekolah ketika monev sertifikasi atau peer teaching saat PLPG. Salah satu orangtua siswa bilang kalau anaknya takut dengan orang yang baru dikenalnya, termasuk saya, guru barunya. Lama kelamaan nanti akan terbiasa dan tidak takut dengan saya, jelas orang tuanya. Memang benar, beberapa hari kemudian sudah tidak ada siswa yang minta ditunggui orang tuanya, sudah mau menatap mata saya sambil tersenyum.

Anak yang baru masuk kelas satu SD masih membawa sifat anak TK-nya. Mereka sulit berkonsentrasi, kalaupun bisa konsentrasi itu pun kurang dari 10 menit. Bila saya suruh diam dan duduk tenang , mereka diam dan duduk tenang di meja masing-masing, namun 5 sampai 7 menit kemudian sudah ramai lagi, sudah kejar-kejaran lagi, sudah ganggu temannya lagi, dan sudah ada yang nangis lagi. Pernah saya coba memarahi dengan suara agak keras dan pasang muka menakutkan khas orang marah, apa yang terjadi? Mereka tidak memperhatikan mukaku, tetap ramai, dan sia-sialah muka menakutkan yang saya pasang. Dan pada saat saya pasang muka menakutkan itu ternyata masih ada juga anak yang berani menghampiri saya minta ditalikan sepatu karena talinya lepas.

Anak kelas satu SD memiliki kebiasaan yang aneh-aneh menurut saya. Ada anak yang jalannya selalu langkah tegap. Mau maju mengerjakan soal di papan tulis pakai langkah tegap, mau ijin ke WC pakai langkah tegap, pokoknya begitu keluar dari bangkunya langsung pakai langkah tegap, beloknya juga pakai langkah tegap. Ini terjadi tidak sehari atau dua hari saja, melainkan berhari-hari dia pakai langkah tegap. Mungkin dia menirukan orang yang sedang gerak jalan. Setelah saya ingat-ingat memang benar, saat itu bulan Agustus, banyak regu gerak jalan di desanya yang berlatih untuk mengikuti lomba 17-an, mungkin dia terinspirasi regu gerak jalan yang lewat depan rumahnya.



Selain pakai langkah tegap juga ada yang berjalan agak jongkok sambil melompat-lompat seperti katak. Kemanapun dia pergi selalu pakai langkah itu. Ijin ke WC, pakai langkah katak. Kembali dari WC juga pakai langkah katak dan baru berhenti ketika dia duduk di bangkunya. Seru, kan? Tapi ini tidak sampai berhari-hari seperti anak yang pakai langkah tegap di atas, dua hari dia sudah berjalan seperti anak-anak lain, mungkin dia lelah berjalan seperti itu.

Ada juga anak yang selalu berkeringat, meskipun masih pagi sudah berkeringat. Saya baru mengerti maksud orang tuanya ketika awal masuk kelas satu dulu, dia pesan tempat duduk kepada saya untuk anaknya, ternyata tempat duduk yang dipesan itu berdekatan dengan kipas angin. Suatu hari pernah saya lupa menyalakan kipas angin, anak itu berteriak kepada saya, "Paaak, sumuuuk!". Saya lihat bajunya sudah basah dengan keringat, langsung saya nyalakan kipasnya sebelum dia menangis.

Pernah suatu ketika mengajar pelajaran menggambar, saya mengambil tema alat transportasi. Saya beri kebebasan kepada anak-anak, boleh menggambar apa saja yang penting alat transportasi. Saya memberi contoh gambar perahu di papan tulis, ternyata semua anak menggambar perahu, tidak ada anak yang menggambar selain perahu. Ada satu anak yang bilang kepada teman sebangkunya, "Gambar perahuku ini pasti mendapat nilai 100." Setelah saya lihat gambarnya, saya geleng-geleng kepala. Gambarnya kecil, tidak porposional, bila dibandingkan dengan luas buku gambarnya dan lebih mirip keong dari pada perahu.



Ketika dia tau saya mendekati dan melihat gambarnya dia bilang, "Gambar saya bagus, to, Pak? Pasti seratus ini nilainya." Saya jadi bingung menilainya, kalau tidak saya beri nilai seratus kuatir dia kecewa dan menangis, kalau saya beri nilai seratus, lalu berapa nilai gambar teman-temannya yang lebih bagus? Akhirnya saya beri nilai tujuh puluh, lalu saya hibur dia, saya bilang kalau gambarnya bagus tetapi nilainya belum seratus, baru tujuh puluh, yang tiga puluh masih saya bawa dan akan saya berikan kepada dia nanti kalau sudah waktunya. Alhamdulillah dia tidak nangis.

Masih banyak cerita lain yang belum sempat saya tulis, mungkin lain kali dan Alhamdulillah sampai akhir tahun pelajaran saya tidak pernah mengeluarkan keahlian saya menyeboki anak-anak yang buang air besar di celana.
Previous Post
Next Post