
Pembelajaran kooperatif berasal dari kata asing “Cooperate” yang artinya bekerja sama. Pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran yang menekankan adanya kerja sama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan kelompok. Adanya pembelajaran kooperatif mendorong siswa untuk lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran, sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator yang bertugas mengorganisasikan materi siswa dan menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran (Nurhadi, Dkk : 2004).
Sanjana (2008:242), menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan / tim kecil, antara empat sampai enam orang yang memiliki latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, rasa atau suku yang berbeda (Heterogen). Hal ini dimaksudka agar setiap anggota kelompok dapat memberikan pengalaman, melakukan tukar pikiran, maupun gagasan-gagasan sehingga diharapkan setiap anggota kelompok memiliki kontribusi terhadap keberhasilan kelompok.
Nurhadi (2004:61), menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapt elemen-elemen yang saling terkait. Adapun berbagai elemen yang terdapat dalam pembelajaran kooperatif antara lain:
a. Saling ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan positif menuntut adanya interaksi promotif yang memungkinkan sesama siswa saling memberikan motivasi untuk meraih hasil belajar yang optimal.
b. Interaksi tatap muka
Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan guru, tetapi juga dengan sesama siawa. Interaksi sesama itu memungkinkan para siswa dapat saling menjadi sumber belajar sehingga sumber belajar lebih bervariasi. Interaksi semacam itu sangat penting, karena ada siswa yang merasa lebih mudah belajar dari sesamanya.
c. Akuntabilitas individual
Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam bentuk belajar kelompok. Meskipun demikian, penilaian ditujukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Nilai kelompok didasarkan atas nilai rata-rata hasil belajar sesama anggotanya, dan karena itu tiap anggota kelompok harus memberikan urunan demi kemajuan kelompok. Penilaian kelompok didasarkan atas rata-rata penguasaan semua anggota kelompok secara individual inilah yang dimaksud dengan akuntabilitas individual.
d. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi
Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan social seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide atau mengkritik teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan.
Menurut Sanjana (2008: 249) kelebihn pembelajaran kooperatif adalah: 1) Siswa tidak terlalu menggantungkan kepada guru, akan tetapi akan menambah kepercayaan kemampuan berfikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber dan belajar dari siswa lain, 2) Dapat mengembangkan kemampuan, mengungkapkan idea tau gagasan dengan kata-kata verbal dan membandingkan dengan ide-ide orang lain, 3) dapat membantu anak agar respek terhadap orang lain dan menyadari atas segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan, 4) dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk bertanggung jawab dalam belajar, 5) dapat meningkatkan prestasi akademik maupun kemampuan social, 6) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, serta menerima umpan balik, 7) dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata, dan 8) interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berfikir.
Berbeda dengan Roger dan David Johson dalam Lie (2005), yang mengatakan bahwa ada 5 unsur dasar yang harus tampakdalam pembelajaran kooperatif: a) saling ketergantungan positif, b)tanggung jawab perseorangan, c) tatap muka, d) komunikasi antar anggota, dan e) evaluasi proses kelompok. Menurut nur (1996) dalam Choiriyah (2005) dikemukakan bahwa unsure-unsur pembelajaran kooperatif yaitu: (1) para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama ”, (2) para siswa mempunyai tanggung jawab terhadap mereka sendiri dalam mempelajari yang dihadapi, (3) para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama, (4) para siswa harus berbagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama besarnya diantara para anggota kelompok, (5) para siswa akan diberi evaluasi atau penghargaan yang ikud berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok, (6) para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerjasama selama belajar, (7) para siswa akan diminta pertanggung jawabannya secara individual materi yang ditangani dalam kelompok.
Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT)
Salah satu metode yang sering digunakan guru adalah metode structural. Metode structural ini dikembangkan oleh Spencer Kagan dan kawan-kawan. Meskipun mempunyai banyak kesamaan dengan metode lainnya, metode structural menekankan pada struktur-struktur yang dirncang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa. Struktur-struktur Kagan menghendaki agar para siswa bekerja sama saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Ada struktur yang memiliki tujuan umum untuk meningkatkan penguasaan isi akademik dan ada juga struktur yang bertujuan untuk mengajarkan keterampilan social. Think-Pair-Share dan Numbered Heads Together adalah struktur yang dapat digunakan untuk meningkatkan penguasaan akademik, sedangkan struktur Active Listening dan Time Tokens adalah struktur yang digunakan untuk mengajarkan ketrampilan social (Nurhadi,2004: 66).
Pada tahun 1993 Spencer Kagan mengembangkan NHT sebagai salah satu model dalam pembelajaran kooperatif. Di sini siswa dituntut untuk saling bekerja sama pada kelompok-kelompok kecil dan lebih dicirikan pada penghargaan kooperatif dari pada penghargan individual. Model ini memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberikan siswa lebih banyak waktu untuk berfikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain, melibatkan siswa lebih banyak dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan memeriksa pemahaman siswa terhadap isi pelajaran (Nurhadi, 2004: 66).
Model pembelajaran NHT ini secara tidak langsung melatif siswa untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta berbicara dengan penuh perhitungan, sehingga siswa lebih produktif dalam pembelajaran (Ali, 2010). NHT (Numbered Heads Together) merupakan suatu strategi pembelajaran dengan cara setiap peserta didik diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok. Pembelajaran ini mengedepankan kepada aktivitas peserta didik dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari beberapa sumber belajar yang akhirnya untuk dipresentasikan di depan kelas (Chotimah, 2009:191).
Adapun langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) adalah sebagai berikut:
a. Penomoran (Numbering)
Guru pada tahap ini membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan tiga hingga lima orang dan memberi mereka nomor sehingga setiap peserta didik dalam tim tersebut memiliki nomor yang berbeda. Pemberian nomor tersebut bertujuan untuk memudahkan kinerja kelompok, mengubah posisi kelompok, menyusun materi pembelajaran, mempresentasikan dan mendapatkan tanggapan dari kelompok lain.
b. Pengajuan Pertanyaan (questioning)
Guru pada tahap ini mengajukan suatu pertanyaan kepada peserta didik. Pertanyaan dapat bervariasi dari yang spesifik hingga yang bersifat umum.
c. Berfikir Bersama (head together)
Guru pada tahap ini, mengajak peserta didik untuk berfikir bersama, menggambarkan dan meyakinkan bahwa setiap orang mengetahui jawaban tersebut.
d. Pemberian Jawaban (answering)
Guru pada tahap ini menyebut satu nomor dan peserta didik yang memiliki nomor yang sama dari setiap kelompok mengangkat tangan danmenyiapkan jawaban untuk dipresentasikan untuk seluruh kelas. (Chotimah, 2009: 191-192).
Strategi pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) menurut Chotimah (2009: 192-193) memiliki kelebihan dan kekurangan, antara lain:
a. Kelebihan strategi pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT), antara lain:
- Siswa menjadi siap belajar semua
- Siswa dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh
- Siswa yang pandai dapat mengajari peserta didik yang kurang pandai
- Meningkatkan prestasi belajar siswa
- Memperdalam pemahaman siswa
- Menyenangkan siswa dalam belajar
- Mengembangkan sikap positif siswa
- Mengembangkan sikap kepemimpinan siswa
- Mengembangkan rasa ingin tahu siswa
- Meningkatkan rasa percaya diri siswa
- Meningkatkan rasa sosialisme siswa
- Mengembangkan rasa saling memiliki
- Kemungkinan nomor yang sudah dipanggil dapat dipanggil lagi oleh guru
- Tidak semua anggota kelompok yang memiliki nomor yang sama terpanggil oleh guru untuk presentasi mewakili kelompoknya
Aktivitas berasal dari kata dasar aktif dan selalu berusaha, bekerja atau belajar dengan sungguh-sungguh agar mendapatkan kemajuan atau prestasi yang gemilang (Sugiarti, 2008: 34). Dalam kegiatan belajar mengajar, aktivitas siswa sebagai subyek didik sangat diperlukan sebab belajar adalah kegitan yang dilakukan oleh siswa, bukan sesuatu yang dilakukan oleh guru. Dalam suatu proses pembelajaran, aktivitas belajar merupakan tanggung jawab siswa, oleh karena itu Sardiman (2003: 96) menyatakan bahwa aktivitas belajar merupakan suatu prinsip atau asas yang sangat penting dalam interaksi belajar dan mengajar, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator yang membantu keaktifan siswa mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran diperlukan keterlibatan siswa dan guru secara aktif baik fisik maupun mental. Keseimbangan antara aktivitas fisik dan mental merupakan faktor penting dalam proses peningkatan belajar. Guru sebagai penanggung jawab dalam proses pembelajaran di sekolah harus dapat memfasilitasi pembelajaran yang menyeimbangkan antara aktivitas fisik dan mental siswa.
Hakikat keaktifan siswa sebenarnya adalah keterlibatan mental dan fisik siswa dalam belajar mengajar, derajat keaktifan ini berbeda-beda antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Sehingga upaya untuk meningkatkan keaktifan siswa baik secara individu ataupun kelompok harus benar-benar menjadi perhatian utama.
Aktivitas belajar siswa sangat tergantung pada lingkungan belajarnya, semakin kondusif lingkungan belajarnya, maka siswa dapat belajar secara efektif, sehingga aktivitas belajar yang dilakukan memperoleh hasil sukses yang ditandai dengan adanya peningkatan prestasi belajar. Kondisi siswa yang heterogen dalam kelas akan mengambat kinerja guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Sugiarti (2008: 35), menyatakan suasana belajar yang tertib, nyaman dan tentram akan mendukung siswa dalam kegitan belajarnya, tetapi sebaliknya suasana yang ramai dan gaduh karena siswa yang tidak disiplin akan mengganggu proses pembelajaran. Guru harus mengupayakan pembaharuan dalam pembelajaran, salah satunya adalah dengan menerapkan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT).
Cerminan keaktifan siswa ada dalam aktivitas yang dilakukannya. Peran aktif siswa dalam belajar akan membantu memudahkan siswa dalam memahami konsep, sehingga konsep itu akan terpatri dalam kehidupan siswa dan tidak mudah lenyap dalam ingatan siswa. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip penting di dalam interaksi belajar mengajar. Adapun aktivitas tersebut berbentuk aneka ragam seperti mendengarkan, menulis, merangkum hasil belajar, berdiskusi, pengamatan, mengutarakan pendapat, membuat laporan, serta simulasi.
Rosjidan, dkk (1996: 64) menyatakan bahwa untuk menciptakan keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal di bawah ini:
- Tercipta situasi kelas yang memungkinkan siswa belajar dengan bebas dan tidak terancam, tetapi terkendali
- Siswa dihadapkan dengan topic-topik yang problematik
- Tersedia sumber dan media belajar yang diperlukan oleh siswa
- Diupayakan adanya pemanfaatan metode, teknik dan media pembelajaran yang bervariasi namun tetap relevan dengan tujuan
- Proses belajar yang benar dipandang sama pentingnya dengan perolehan hasil belajar
- Terjadi interaksi dan komunikasi multiarah antara guru dengan siswa
- Ada sistem reward atau penghargaan yang dapat memuaskan dan meningkatkan kinerja siswa
- Adanya kesempatan bagi siswa untuk memperoleh bantuan dan pemecahan masalah-masalahnya baik akademik maupun pribadi
Belajar adalah segenap aktivitas yag dilakukan seseorang secara sadar dan mengkaitkan perubahan dalam dirinya yang berupa penambahan pengetahuan, kemahiran dan tingkah laku (Winkel, 2007: 51). Kegiatan dan usaha yang dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan berupa perubahan ingkah laku tersebut yang merupakan proses belajar. Hasil belajar berhubungan secara langsung dengan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini berhubungan erat dengan siswa sebagai subyek belajar dan guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran. Pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran secara tepat aan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut Setyosari (2001: 15) pembelajaran adalah penyajian informasi dan aktivitas-aktivitas yang memudahkan si pelajar untuk mencapai tujuan khusus atau kompetensi belajar yang diharapkan.
dikatakan belajar apabila dapat diasumsikan dalam diri orang itu terjadi proses atau kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku itu memang dapat diamati dan berlaku dalam waktu yang relative lama, itu disertai usaha orang tersebut sehingga orang tersebut yang dari awalnya tidak mampu dalam mengerjakan sesuatu menjadi mampu dalam mengerjakannya (Hudojo, 1990: 1).
Sudjana (2005: 22) menyatakah bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah siswa tersebut menerima pengalaman dalam belajarnya. Hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari suatu proses belajar mengajar. Perubahan ini berupa pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan proses yang biasanya meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Ranah kognitif berhubungan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ke dua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah sedangkan ke empat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yaitu penerimaan, jawaban, atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar, ketrampilan dan kemampuan dalam bertindak (Sudjana, 2005: 22-23).
Ketiga ranah tersebut menjadi obyek dalam penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi dan bahan pengajaran (Sudjana, 2005: 23).
Menurut Bloom dalam Dimyanti dan Mudjiono (2006: 26), aspek kognitif meliputi enam ranah sebagai berikut:
a. Pengetahuan (Knowledge)
Mencakup kemampuan mengingat tentang hal-hal yang telah dipelajari dan yang telah tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan ini berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip, ataupun suatu metode.
b. Pemahaman (Comprehension)
Mencakup tentang kemampuan menangkap sebuah arti dan memaknai dari semua hal-hal yang dipelajari.
c. Penerapan (application)
Mencakup tentang kemampuan menerapkan suatu metode dan suatu kaidah untuk menghadapi suatu masalah yang nyata dan baru.
d. Analisis (analysis)
Mencakup tentang kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam suatu bagian-bagian sehingga dengan struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.
e. Sintesis (synthesis)
Mencakup tentang kemampuan membentuk suatu pola baru.
f. Evaluasi (evaluation)
Mencakup tentang suatu kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan criteria yang ada.
Hasil belajar antara siswa yang satu dan yang lainnya tidaklah sama. Perbedaan hasil belajar ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Winkel (2007) faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan hasil belajar meliputi faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal, yang terdiri dari :
- Psikologi, meliputi intelegensi, motivasi belajar, minat, perasaan, kondisi akibat keadaan social, cultural dan ekonomi.
- Fisiologi, meliputi kesehatan jasmani
- Proses belajar di sekolah meliputi: kurikulum pembelajaran, disiplin sekolah, fasilitas belajar, dan pengelompokan siswa.
- Social meliputi: system sekolah, status social sekolah siswa, interaksi pengajar dengan siswa.
- Situasional meliputi: politik, tempat dan waktu.
0 komentar: