Jalan ini, jalan yang aku lalui dua kali hampir tiap hari, pagi ketika berangkat dan siang ketika pulang, 6 hari dalam seminggu kecuali ketika aku tidak masuk kerja atau ketika hari libur. Sejauh 6 kilometer, berpaving, agak bergelombang, berdebu bila musim kemarau, sedikit licin dan agak becek bila musim hujan. Di pinggir sebelah barat jalan, setelah belok kiri yang pertama, ada 26 pohon asam. 16 diantaranya condong ke sisi luar jalan.
Jalan ini, jalan yang aku lalaui ketika berangkat mengajar. Kalau sudah 3 kali belok kiri, 2 kali melewati pertigaan, 3 kali melewati jembatan berarti sudah sampai di halaman sekolah tempatku ngajar. Tidak sulit, tidak ada lampu merah, tidak ada rambu-rambu lalu lintas, tidak ada marka jalan, tidak macet, tapi klakson harus berfungsi untuk menyapa pengguna jalan lain atau orang nongkrong di pinggir jalan kalau tidak ingin dikatakan angkuh, karena jalan ini jalan desa, jadi aku harus membunyikan klakson dan senyum ketika berpapasan dengan orang yang aku kenal maupun yang tidak aku kenal, siapa tahu dia kenal aku.
Jalan ini membelah hamparan sawah. Bila musim tanam padi terasa sejuk meskipun siang hari. Setelah 1 bulan dari musim tanam padi, beberapa pengendara, baik motor maupun sepeda tengok kanan kiri, tergoda hijaunya padi hingga lupa kalau sedang berkendara. Aku harus berhati-hati kalau berpapasan dengan pengendara seperti ini, karena sewaktu-waktu bisa berada di lajur kanan.
Melewati jalan ini harus bisa membaca pikiran pengendara lain, terutama pengendara yang usianya agak tua, karena bisa mendadak berhenti tanpa menyalakan lampu sein atau kadang balik arah tanpa melihat ke belakang.
Bila pulang kerja, antara pukul 13.00 sampai 14.00, jalan ini sepi, jarang yang lewat bahkan tidak bertemu dengan satu orang pun. Kalau sedang sepi seperti itu kadang ingat cerita teman yang pernah malam-malam lewat jalan ini katanya, di sepanjang jalan itu temanku melewati 3 jembatan padahal sebenarnya hanya ada 2 jembatan.
Perlu keahlian khusus untuk melewati jalan ini ketika banjir tiba. Hampir tiap tahun jalan ini kebanjiran air luapan Bengawan Solo. Harus hafal mana jalan yang berlobang, mana yang pavingnya lepas, mana yang banyak gundukannya. Karena ruas jalan ketutupan air.
Ketika banjir surut, sepanjang jalan ini menebarkan bau ikan yang menyengat karena banyak ikan yang dijemur di kanan kiri sepanjang jalan. Dua jembatan di sepanjang jalan ini menjadi tempat berkumpulnya pemancing ikan.
Jalan ini juga menjadi saksi hilangnya smartphone ku. Smartphone satu-satunya yang aku punya, berisi file-file penting. Ini membuatku stres dan setiap hari selalu berharap ada orang yang mencegatku, menyuruhku berhenti dan bilang, "Ini HPnya, kutemukan kemarin sore." Tapi sampai saat ini tidak ada orang yang seperti itu. Untungnya di smartphone itu tidak ada satupun gambar atau video untuk orang dewasa, jadi aku tidak perlu malu kalau smartphone ku itu ditemukan orang.
Kata ibu ku, jalanku ini dulu pernah dilewati Tentara Belanda, berjalan beriring-iringan memakai seragam warna putih dari selatan ke utara. Ibu yang masih kecil melihat iring-iringan Tentara Belanda itu dari tempat persembunyian. Ibu bersama kakek dan nenek bersembunyi di tengah sawah yang waktu itu masih banyak ilalang setinggi orang dewasa.
Tentara Belanda itu berjalan ke utara terus berbelok ke barat, terus ke selatan masuk perkampungan ibu dan membakar 3 rumah, salah satunya adalah rumah buyutku, nenek dari ibuku. Setelah satu bulan lebih, asap masih mengepul dari puing-puing rumah yang habis dibakar oleh tentara Belanda itu, kata ibu. Cerita itu yang membuatku tidak pernah memegang Belanda ketika Piala Dunia dan Piala Eropa.