Profesi Guru: Panggilan Jiwa atau Mencari Nafkah?
Oleh Suwito Adi Prasetyo,
Guru SD Negeri Kedungprimpen Kec. Kanor Kab. Bojonegoro
Pelamar formasi guru mendominasi pada seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang dibuka mulai 26 September 2018. Itu artinya banyak anak bangsa yang ingin menjadi guru. Apakah keinginan mereka untuk menjadi guru atas dasar panggilan jiwa atau sekadar mencari nafkah?
Dahulu, profesi guru sangat tidak diminati oleh kaum muda, apalagi yang hidup di kota. Banyak yang malu kalau harus bersekolah atau kuliah mengambil jurusan keguruan. Banyak yang beranggapan sekolah jurusan tersebut kurang keren. Ada yang bercerita, dulu orang yang belajar di jurusan itu tidak percaya diri. Sampai ada yang pulang dari sekolah mengambil jalan lain bila tahu akan berpapasan dengan siswa/mahasiswa dari jurusan lain.
Mereka yang menempuh pendidikan keguruan kebanyakan dari desa dan karena paksaan orangtua. Bahkan sampai ada gurauan, dulu anak gadis yang tidak nurut perintah orangtua ditakut-takuti akan dinikahkan dengan guru. Begitu tidak berharganya profesi guru di masa lalu.
Kesejahteraan guru zaman dahulu juga sangat memprihatinkan. Ini tergambar dalam sosok “Oemar Bakri”, lagu beken yang dibawakan Iwan Fals. Di liriknya tergambarkan figur guru yang sangat sederhana dan mengajar tanpa pamrih. Sedemikian sederhananya, bahkan ada guru yang menambah penghasilan dengan bekerja sebagai tukang ojek.
Sekarang, pemerintah benar-benar memerhatikan bidang pendidikan dengan mengalokasikan 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan termasuk alokasi kesejahteraan guru. Sejak terbit Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kesejahteraan guru meningkat. Di dalam undang-undang itu diatur bahwa selain gaji pokok juga ditambah Tunjangan Profesi Pendidik. Terkait hal ini, menjadi daya tarik bagi banyak anak muda untuk mengincar profesi sebagai guru.
Formasi guru selalu ada di setiap pelaksanaan seleksi penerimaan CPNS, dengan jumlah kuota paling banyak dibanding formasi lain. Artinya, guru masih sangat dibutuhkan di negara ini. Karena itu banyak yang kuliah mengambil jurusan guru dengan tujuan setelah lulus nanti segera mendapat pekerjaan karena peluang untuk diangkat menjadi guru sangat besar.
Mereka mendaftar pada formasi guru tentu memiliki berbagai macam tujuan. Ada yang ingin mencari pekerjaan untuk memenuhi nafkah. Biasanya, meraka yang ingin jadi guru karena latar belakang mencari pekerjaan, ketika sudah menjadi guru akan terasa terbebani oleh kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. Guru seperti ini akan mengajar hanya untuk menghabiskan kurikulum yang dibebankan kepadanya. Guru tidak mau tahu siswanya sudah mengerti materi yang disampaikan atau belum.
Ini berbeda dengan mereka yang menjadi guru atas dasar panggilan jiwa. Guru semacam itu akan bekerja dengan maksimal tanpa rasa terbebani karena mengajar bagi mereka adalah suatu kesenangan dan kepuasan jiwa. Bila ada siswa yang belum mengerti materi yang disampaikannya, mereka akan menjelaskan lagi dengan sabar sampai siswa itu benar-benar bisa dan mengerti. Mereka bekerja diniati sebagai ibadah.
Bila menjadi guru adalah panggilan jiwa maka yang terjadi ialah profesi guru dihayati sedemikian rupa, dinikmati dengan segenap semangat pengabdian dan prestasi serta sanggup mengalahkan godaan-godaan profesi lain yang secara materi lebih menjanjikan. Seorang guru harus mau berfikir bagaimana seharusnya sistem pendidikan dibangun dan dikembangkan. Kalau diperlukan siap mengabdikan dirinya menjadi guru di daerah terpencil dan mampu berprestasi, baik secara akademis maupun hal-hal lainnya.
Profesi guru berkaitan dengan hard skill dan soft skill. Hard skill terkait dengan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan bidang ilmunya. Sedangkan soft skill terkait dengan kreativitas, sensitivitas, dan intuisi yang lebih mengarah pada kualitas personal yang berada di balik perilaku seseorang. Soft skill yang dimiliki guru ini kelak akan menghasilkan generasi yang cerdas, baik secara intelektual, sosial, serta spiritual sehingga menjadi manusia utuh, manusia yang benar-benar manusia. Tanpa soft skill guru hanya akan menghasilkan generasi yang bermental buruk.
Menjadi guru harusnya merupakan cerminan idealisme kita dan keberpihakan kita terhadap kemanusiaan. Menjadi guru berarti mengabdikan segenap jiwa raga dan kemampuan terbaik kita untuk menciptakan generasi masa depan yang jauh lebih bermartabat, demi Indonesia yang lebih baik. Menjadi guru berarti siap menjadi tauladan, tidak harus selalu dan tidak semata-mata soal kepintaran belaka melainkan yang terpenting menjalankan tugas sebagai uswatun hasanah di mata anak didik dan masyarakat.
Hal yang pasti, dalam pasal 1 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 2005 dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Apapun niat awal seseorang menjadi guru, baik itu karena ingin mencari pekerjaan untuk memenuhi nafkah ataupun karena panggilan jiwa, kalau sudah menjadi guru sebaiknya harus bekerja profesional. Keprofesionalan seorang guru bukan berorientasi mendapatkan pekerjaan dan gaji yang layak untuk nafkah saja, melainkan juga harus memiliki panggilan jiwa.