Bab 1. Awal Cerita
Ini cerita tentang diriku. Penggalan-penggalan cerita ketika aku duduk di kelas satu SD ini tertinggal di sela-sela kepalaku—aku kumpulkan dan aku tulis untukmu. Bila pandanganmu berubah terhadapku setelah membaca cerita ini, itu urusanmu, bukan urusanku dan aku tidak suka mencampuri urusan yang bukan urusanku. Mungkin, menurutmu, ini awal cerita yang kurang bagus, tetapi aku tetap menulisnya karena sebuah cerita harus berawal.
Waktu itu aku baru saja lulus TK dan, mungkin, lulusku itu membuat Bu Guru TK-ku lega, karena aku tahu, aku dianggap sebagai anak yang paling menguras tenaganya. Katanya, sejak TK ini berdiri, tidak pernah ada siswa yang merepotkannya seperti aku. Benar, bukan hanya dia yang kubuat repot, ibu teman-temanku juga tidak jarang kubuat marah─anaknya sering kubuat menangis.
Bu Guru TK-ku menangis ketika hari perpisahan. Mungkin itu tangis bahagia, karena dulu ketika aku baru setengah tahun di TK, ia sudah ingin meluluskan aku agar aku segera pindah ke SD. Ini seperti cerita ibuku. Teman SD ibuku dulu, anak pejabat pemerintahan desa, setahun naik kelas dua kali: kelas lima setangah tahun, kelas enam setengah tahun kemudian lulus dan dinikahkan dengan anak tuan tanah di desa itu. Tapi, aku anak ibuku, dan ibuku bukan pejabat desa, aku harus menyelesaikan tiap kelas paling cepat setahun.
Di kelas 1 SD, aku diajar oleh guru laki-laki. Aku tidak suka menyebut namanya. Aku memanggilnya Pak Guru─teman-temanku suka menyebut namanya. Itu guru laki-laki pertamaku─tiga tahun sebelumnya aku diajar guru perempuan . Aku tahu, awalnya, Pak Guru tidak suka denganku: aku tahu dari tatapan matanya yang terlalu tajam kepadaku dan cengkeraman tangnnnya yang sulit dilepaskan, kadang lenganku terasa sakit.
Setelah beberapa bulan Pak Guru mengajarku, aku merasa dia mulai suka denganku. Hampir setiap hari dia duduk di kursi kosong di sebelahku, kursi yang sebenarnya aku sediakan untuk temanku. Aku ingin ada teman yang duduk di sampingku, boleh di kananku atau di kiriku, boleh laki-laki atau perempuan, boleh anak pintar atau anak bodoh. Tapi, satu tahun bangku itu kosong, tidak ada satupun temanku yang sudi duduk di kursi itu. Teman-temanku yang lain punya teman sebangku, aku tidak, aku duduk sendirian di deretan bangku paling belakang.
Ibu selalu
mengatakan, duduk sendiri lebih baik, seluruh bagian meja bebas aku miliki
tanpa harus berbagi dengan teman sebelahku. Tanpa harus repot-repot memberi
garis di tengah-tengah meja dengan kapur tulis atau diberi batas dengan pensil
sebagai penanda bagian meja mana yang boleh aku pegang dan yang tidak, seperti
yang dilakukan teman-temanku. . Pak Guru juga sama dengan ibuku. Dia tidak mencarikanku teman sebangku. Aku tahu, kalau mau, Pak Guru bisa saja menempatkanku duduk di antara mereka, satu meja untuk tiga anak. Tapi Pak Guru tidak melakukannya, mungkin Dia sudah bersekongkol dengan ibuku agar dia bisa duduk di sebelahku.
Pernah suatu hari Pak Guru akan memindahkan kursi kosong di sebelahku itu ke gudang. Aku pegangi kursi itu sekuat tenaga.
"Jangan ambil kursiku," teriakku.
"Kursi ini tidak ada yang menempati. Biar saya taruh di gudang," kata Pak Guru
"Jangan ambil kursiku," teriakku dengan kalimat yang sama dan tetap memegangi kursi itu kuat-kuat.
Setelah aku menjerit sekencang-kencangnya sampai suaraku serak dan mukaku terasa panas, Pak Guru akhirnya menyerah. Dia membiarkan kursi itu tetap berada di sampingku. Bukan itu saja, bila ada teman yang tidak masuk sekolah, langsung aku seret kursinya ke samping kursiku. Kadang ada tiga kursi, kadang ada empat kursi, bila banyak teman yang tidak masuk, banyak kursi di sampingku. Siapa tahu nanti kalau mereka masuk, salah satu dari mereka mau duduk di sampingku.
Pagi sebelum jam pelajaran dimulai dan Pak Guru belum masuk kelas, aku ambil kursi Ani yang kebetulan hari itu tidak masuk.
"Ini kursi temanku, jangan kau ambil!" teriak Dian teman sebangku Ani.
Tetap aku seret kursinya meskipun Dian menaiki kursi itu dan berteriak-teriak memarahiku dari atas kursi yang berjalan. Aku seret kursi itu sampai di samping kursiku.
“Jangan kau ambil!” Dian menjerit dan menangis. Aku tidak peduli.
Dian berteriak memanggil ibunya yang menunggu di teras ruang kelas 1. Aku tendang kursi itu, Dian jatuh, kepalanya membentur kaki meja. Ibu Dian masuk ke kelas dan langsung memarahiku.
Ibuku dan Pak Guru dan Orang tua siswa yang lain juga masuk ke kelas. Ibu menghampiriku, bukannya membantuku menata tiga kursi di mejaku, dia malah memarahiku. Pak Guru dan beberapa orang tua siswa menghampiri Dian, kepala Dian tidak berdarah, tapi masih menangis dan tangisnya makin keras, seperti ingin menunjukkan kepada semua orang kalau aku menyakitinya. Padahal aku hanya ingin dia turun dari kursi dan meletakkan kursi itu di samping kursiku.
Baca Juga Cerita Bab Lainnya:
Baca Juga:
0 komentar: