Bab 2. Aku Suka Bergerak
“Ozi, coba kamu duduk tenang di kursimu, dengarkan saya bicara seperti teman-temanmu yang lain,” kata Pak Guru menyuruhku duduk diam di kursi. Aku tidak menjawab dan tetap berlari ke sana kemari.
Karena aku berlari ke sana kemari, beberapa temanku tidak memperhatikan Pak Guru berbicara, malah asyik memperhatikan aku. Aku hampiri meraka satu persatu, ada yang aku pegang kepalanya, aku dorong punggungnya, aku jewer telinganya, aku tendang kakinya, dan Dian, yang kemarin berebut kursi denganku, aku buang tasnya.
Teman-teman mulai ramai dan Pak Guru menghampiriku.
“Ozi, duduk di kursimu!” Kata Pak Guru. Aku tidak suka mendengarkan Pak Guru bicara apalagi melaksanakan perintahnya.
“Ozi, dengarkan Pak Guru. Duduk di kursimu!” Kata Pak Guru dengan suara agak keras. Aku menengok ke arahnya. Aku lihat sepertinya dia agak marah. Aku tidak peduli, aku tidak mau melaksanakan perintahnya. Duduk di kursi itu membosankan.
Pak Guru memegang lenganku kuat sekali sampai lenganku terasa sakit. Pak Guru menyeret aku dan memaksaku duduk di kursi. Aku berontak. Sekuat tenaga berusaha lepas dari pegangan Pak Guru, tapi tidak bisa. Aku buang benda-benda yang ada di dekatku: tas, buku, pensil, penggaris, topi, dan apa saja. Aku tendang kursi, aku tendang meja, dan aku pukuli tangan Pak Guru sampai tanganku sendiri terasa sakit.
“Lepaskan, aku!” Teriakku. Aku gigit tangan Pak Guru sampai gigiku terasa sakit karena gigiku sedikit mengenai jam tangan stainles Pak Guru. Aku bisa melepaskan diri dan lari keluar kelas. Bajuku keluar dari lingkar pinggang celana panjangku dan beberapa kancingnya terlepas.
Ibu yang duduk di teras depan kelasku mengejarku, berhasil memegang tanganku dan menarikku masuk lagi ke ruang kelas. Aku dimarahi, dijewer, dicubit, dan terakhir dielus rambutku sambil berkata dengan lembut, “Dengarkan Pak Guru, nak. Jangan lari ke sana kemari. Duduk yang baik di kursimu dan jangan ganggu teman-temanmu.” Mata ibu berkaca-kaca. Mungkin dia sedih, malu dengan Pak Guru, malu dengan ibu teman-temanku, malu karena aku.
Ibuku berusaha membujukku. Ibu tahu kalau aku suka es krim. Aku dibelikannya es krim supaya mau duduk di kursi dan mendengarkan Pak Guru menerangkan pelajaran dan tidak mengganggu teman-temanku.
Aku mau masuk kelas dan duduk di kursi. Aku makan es krim itu di dalam kelas dan Pak Guru tidak melarangku. Kalau misalnya Pak Guru melarang, aku akan berteriak dan lari keluar kelas lagi.
Es krimku habis dan aku bosan bila harus duduk tanpa es krim. Aku lari ke meja Pak Guru dan duduk di kursinya. Aku ingin tau rasanya jadi guru. Aku buka laptop Pak Guru yang tergeletak di mejanya, aku tekan sembarang tombol.
“Ozi, jangan duduk di kursi Pak Guru. Lihat teman-temanmu, meraka tidak mau mendengarkan Pak Guru karena melihat tingkahmu,” kata Pak Guru.
Aku tidak peduli. Aku tetap duduk di kursinya karena aku ingin merasakan jadi guru. Aku nyalakan laptop itu tapi tidak bisa. Aku pukul-pukul tombolnya dengan kedua telapak tangan supaya menyala, tapi tetap tidak menyala. Pak Guru menahan tanganku agar tidak memukul tombol laptopnya. Segera dia tutup laptop itu dan masukkannya ke lemari dekat mejanya.
Beberapa kali dia menyuruhku kembali ke kursiku, aku tidak mempedulikannya. Aku tetap duduk di kursinya. Dia mengangkatku, sampai kakiku tidak menyentuh lantai, mengembalikan aku ke kursiku. Tapi aku kembali lagi ke kursinya. Aku senang Pak Guru mengangkatku. Pak Guru mengangkatku lagi dan mengembalikan aku ke kursiku. Aku kembali lagi ke kursinya. Begitu terus. Berulang-ulang sampai hampir sepuluh kali. Akhirnya aku mau duduk di kursiku setelah Pak Guru duduk di kursi kosong di sebelahku menemani aku. Aku senang, akhirnya ada yang mau duduk di kursi sebelahku.
Pak Guru duduk di sebelahku mungkin karena dia ingin merasakan jadi murid, seperti aku tadi yang ingin merasakan jadi guru. Aku biarkan dia merasakan jadi murid. Tidak aku larang dan tidak aku suruh kembali ke kursinya seperti dia melarangku. Biar dia tahu bosannya jadi murid.
Setelah duduk di kursi di sebelahku, mungkin dia benar-benar merasakan bosannya jadi murid karena pada pelajaran berikutnya, dia tidak lagi bicara di depan kelas seperti biasanya. Dia mengajak aku dan teman-teman yang lain berjalan bergandengan di antara meja-meja, menirukan gerak pohon ditiup angin, menirukan gerak daun jatuh, menirukan gerak pesawat, dan meniru gerakan-gerakan hewan. Tapi aku tidak suka menirukan gerakan-gerakan tersebut. Meskipun aku suka bergerak, aku tidak suka gerak seperti itu. Aku suka gerak bebas semauku, tidak menirukan apapun dan tanpa dipandu siapapun. Berlari ke sana kemari, melompat-lompat, merangkak di bawah meja, tiduran di lantai sambil berguling-guling, naik kursi, naik meja, menendang kursi, memukul-mukul meja, memanjat lemari di samping Pak Guru. Tapi Pak Guru tidak pernah menyuruhku bergerak seperti itu, malah dia melarangku ketika aku melakukannya.
Baca Juga Cerita Bab Lainnya:
Baca Juga:
0 komentar: