Merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak dan Membuat Undang-Undang Guru


Sedih dan kadang terlintas rasa takut bila mendengar kabar ada siswa yang berani melawan ketika ditegur guru atau ada orang tua siswa yang tiba-tiba mencari dan memukuli guru karena mendapat aduan dari anaknya yang mendapat hukuman disiplin di sekolah.

Pikiran semacam itu timbul setelah belakangan ini ada berita penganiayaan terhadap guru, baik yang dilakukan oleh siswa maupun oleh orang tua siswa. Berita yang paling mengejutkan adalah meninggalnya Ahmad Budi Cahyono, seorang guru SMA di Madura setelah dipukuli oleh siswanya. Sebulan yang lalu juga ada kabar dari Mamuju, Sulawesi Barat, seorang guru dipukul orang tua siswa sampai tidak sadarkan diri. Dari Gresik juga dikabarkan ada siswa SMP PGRI menantang gurunya. Dan masih banyak kasus serupa yang terjadi di Indonesia.

Sebenarnya hukuman yang diberikan guru kepada siswa atas tindakan kurang disiplin pada kasus di atas tergolong hukuman ringan. Seperti kasus di Madura yang menyebabkan guru meninggal, terjadi hanya karena guru tersebut mencoret pipi siswanya dengan cat warna ketika pelajaran kesenian. Mencoret pipi dengan cat warna itu pun terpaksa dilakukan karena siswa tersebut tidak berhenti menggangu temannya padahal sudah diperingatkan berkali-kali. Penganiayaan guru oleh orang tua siswa di SMP Mamuju juga disebabkan masalah sepele. Guru menjewer telinga siswa yang baju seragamnya tidak dimasukkan. Pihak sekolah mengundang orang tua siswa tersebut untuk mediasi terkait pelanggaran yang dilakukan anaknya. Mediasi belum dilakukan, orang tua siswa itu malah memukul guru hingga tidak sadarkan diri dan harus dilarikan ke rumah sakit. Begitu pula kasus siswa menantang guru di SMP PGRI Gresik. Kasus itu berawal dari guru yang menegur siswa yang sedang merokok di dalam kelas. Ketika guru menyuruh siswa itu berhenti merokok, bukannya berhenti, siswa itu malah menantang dengan memegang kerah baju dan kepala gurunya.



Hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh guru kepada siswa tentu sudah terukur. Ketika seorang guru menindak siswa yang melanggar disiplin, guru sudah paham tentang hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Hukuman yang diberikan juga bertahap. Ketika ada siswa yang melanggar disiplin, guru tidak langsung menjatuhi hukuman berat, tapi diperingatkan terlebih dahulu. Bila diperingatkan masih tetap melanggar, biasanya siswa dihukum dengan hukuman yang lebih berat namun tetap mendidik dan tidak membahayakan siswa. Hukuman yang diberikan bertujuan agar siswa yang melanggar peraturan tidak mengulangi lagi perbuatannya, bukan untuk menyiksa siswa tanpa alasan. Menjewer dan mencoret pipi dengan cat, seperti yang terjadi pada kasus di atas tergolong hukuman yang ringan, apalagi kalau hanya diperingatkan seperti kasus di Gresik. Hukuman itupun terpaksa diberikan setelah siswa beberapa kali diperingatkan oleh guru namun tidak menghiraukan.

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temanya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya, sering dijadikan dasar bagi orang tua siswa untuk melaporkan guru atau bahkan memukuli guru atas tidakan guru yang sebenarnya dilakukan hanya untuk mendisiplinkan siswa. Menghukum siswa dengan jeweran telinga, menyuruh siswa push-up, menyuruh siswa lari mengelilingi halaman sekolah, oleh orang tua siswa dianggap sebagai kekerasan. Padahal menjewer tidak membahayakan siswa. Push-up dan lari mengelilingi halaman sekolah sering dilakukan saat pelajaran olahraga, tentu hukuman itu tidak membahayakan siswa. Mereka juga tidak tahu kalau sebelum hukuman tersebut dijatuhkan, guru sudah memperingatkan siswa. Kalau peringatan guru dihiraukan, tentu guru tidak akan menjewer, menyuruh push-up, atau lari mengelilingi lapangan.



Memang ada peraturan yang memberi kebebasan kepada guru untuk memberi sanksi kepada siswa, namun kebebasan pemberian sanksi itu hanya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP), sedangkan anak dilindungi dalam Undang-Undang (UU). Seperti kita tahu, di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, undang-undang kedudukannya lebih tinggi dari pada Peraturan Pemerintah. Seharusnya kebebasan dalam memberi sanksi yang mendidik kepada siswa juga diatur dalam undang-undang bukan Peraturan Pemerintah. Disebutkan juga dalam pasal 39 ayat (1) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 itu, bahwa kebebasan memberi sanksi oleh guru kepada peserta didik hanya ketika dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Bagaimana kalau siswa itu melanggar peraturan ketika tidak sedang mengikuti proses pembelajaran, ketika istirahat misalnya, apakah dibiarkan saja?
Untuk itu pemerintah harus segera membuat undang-undang yang memberi kebebasan guru memberi sanksi yang mendidik baik ketika di sekolah maupun di luar sekolah agar guru memiliki kebebasan mendidik anak bangsa ini di mana saja, bukan hanya di sekolah. Misalnya, ketika di jalan guru mendengar ada anak berkata kasar atau berkata jorok. Apakah kita sebagai seorang guru diam saja? Tentu tidak. Kita tegur anak itu. Kalau ditegur masih saja mengulangi perbuatannya, kita beri hukuman dan kita tidak takut melakukannya bila pemerintah sudah membuat undang-undang itu.

Pemerintah juga harus merevisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 54 seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Pasal tersebut membuat guru berpikir berkali-kali untuk mendisiplinkan siswa yang melanggar. Banyak guru yang memilih aman dengan hanya menegur halus secara lisan karena takut melanggar hukum dan takut dipukuli siswa atau orang tua siswa. Tapi bagaimana kalau siswa hanya ditegur dengan teguran lisan, halus pula? Mungkin ada yang menurut, tapi banyak anak yang tidak mempan kalau cuma ditegur.



Undang-undang yang melindungi guru juga sudah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di dalam pasal 39 ayat (1) dijelaskan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Dalam pasal tersebut ada kalimat, memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas. Bagaimana kalau guru tidak sedang bertugas? Bagaimana kalau Orang tua siswa yang tidak terima anaknya di hukum mendatangi rumah guru kemudian memukuli guru ketika guru itu tidak sedang bertugas? Undang-undang itu tidak cukup untuk melindungi guru. Untuk itu pemerintah harus segera undang-undang yang melindungi guru baik ketika sedang bertugas maupun tidak sedang bertugas, baik ketika di sekolah atau di mana saja.

Bagaimana jadinya generasi mendatang bila gurunya tidak berani mendidik siswa-siswanya untuk menaati peraturan? Bila guru tidak berani mendisiplinkan siswa, ke depan bangsa kita akan menjadi bangsa yang tidak tidak bisa diatur, menjadi bangsa liar, menjadi bangsa yang tidak hormat kepada guru-gurunya, berani menantang guru-gurunya.

Previous Post
Next Post

0 komentar: