Bab 3. Air Kepandaian
Kadang, supaya Pak Guru juga merasakan bosannya menulis seperti yang aku rasakan, aku suruh Dia menulis di bukuku. Tapi, Dia selalu menolak malah kemudian menarik tanganku dan menuntunku menulis. Ketika Pak Guru menuntunku menulis dan banyak tulisan yang harus kuselesaikan, aku tarik tanganku. Aku lari keluar kelas dan bergerak sesukaku: lari di halaman, melompat-lompat, masuk di sela-sela jeruji pagar, mengitari gedung sekolah dari depan sampai ke belakang atau masuk ke kelas lain satu per satu.
Pernah suatu hari pegangan Pak Guru terlalu kuat dan sulit dilepaskan, aku teriak. Pegangan Pak Guru semakin kuat sampai terasa sakit tanganku ini. Aku lihat mata Pak Guru tajam melihatku seperti ingin memakanku hidup-hidup.
“Kamu duduk di sini saja, menyalin tulisan di papan tulis sampai selesai. Tidak banyak, hanya empat kalimat,” kata Pak Guru.
“Saya mau beli jajan, Pak Guru.”
“Boleh beli jajan, tapi nanti kalau sudah waktunya istirahat.”
Aku berontak. Aku tendang meja, aku tendang kursi, juga aku tendang kaki Pak Guru. Aku buang apa saja yang ada di depanku: tas, buku, pensil, topi, pokonya apa saja yang bisa aku lempar. Karena tangan kananku dipegang kuat oleh Pak Guru, aku lemparkan barang-barang itu dengan tangan kiriku. Aku gigit tangan Pak Guru. Pak Guru merangkul leherku. Aku berteriak kencang. Beberapa temanku melihat dari bangkunya dan beberapa lagi ada yang mendekat ke mejaku.
“Tidak akan aku lepaskan meskipun kamu berteriak. Kamu harus duduk dan menulis sampai selesai,” kata Pak Guru.
Aku hanya ingin keluar beli jajan dan ingin berlari-lari di halaman sekolah, melompat-lompat atau apa saja yang penting aku bisa bergerak bebas. Aku bosan di kelas. Aku bosan menulis.
Ada teman yang memanggil ibuku. Ibuku masuk kelas. Aku masih berteriak teriak dan Pak Guru masih kuat merangkul leherku.
“Ozi, jangan nakal. Lakukan perintah Pak Guru. Kau harus menulis.” Kata ibuku.
Ibu ikut memegangi aku dan Pak Guru melepaskan rangkulannya.
“Ibu saja yang menulis,” kataku.
Ibu tidak mau menyalin tulisan di papan tulis untukku dengan alasan aku yang sekolah, bukan dia.
“Ibu dampingi Ozi supaya diam dan mau menulis, biar saya teruskan mengajar,” kata Pak Guru.
Ibu terus membujukku untuk diam dan mau menyelesaikan tulisan.
“Aku mau diam bila ibu yang menyelesaikan tulisannya,” kataku. Akhirnya ibu mau membantuku menulis dan aku diam sampai waktu istirahat tiba.
Waktu istirahat selesai. Aku masuk kelas. Mukaku terasa panas setelah bermain di halaman sekolah. Air minum bekalku, di botol bekas air mineral, yang aku bawa dari rumah, tidak aku minum. Aku sudah minum es tadi. Air itu aku pakai untuk membasahi rambut dan mukaku dan sisanya aku percik-percikkan ke meja, kursi, lantai dan ke semua yang ada di dekatku supaya semua basah dan menjadi sejuk.
Ketika Pak Guru masuk kelas dia melihatku kemudian mendekat. “Air minummu kamu pakai pakai untuk apa ini?”
“Seperti ini lebih segar, Pak Guru,” jawabku.
“Kamu minum apa kalau air bekalmu habis?”
“Aku tadi sudah minum es, Pak Guru.”
“Kalau kamu kepanasan, kamu bisa memakai air di kamar mandi untuk cuci muka. Dan lain kali jangan kamu basahi lantai kelasmu seperti ini. Nanti licin. Kamu dan temanmu bisa jatuh terpeleset.”
Dan benar kata pak guru, beberapa saat setelah itu aku jatuh terpeleset. Tapi, temanku tidak ada yang terpeleset. Mungkin karena aku terlalu banyak bergerak.
Hari berikutnya air bekalku di botol kemasan air mineral tidak aku pakai untuk membasahi rambutku dan mukaku, juga tidak aku pakai untuk membasahi lantai kelasku, tapi aku minum.
“Airmu tidak kamu pakai untuk membasahi muka dan rambutmu lagi?” Tanya Pak Guru.
“Tidak, ini air kepandaian kata ibuku. Aku bisa pandai bila minum air ini. Aku gunakan untuk minum saja, tidak untuk cuci muka, membasahi rambut, atau membasahi lantai” jawabku.
Air kepandaian ini, kata ibuku, dia dapatkan dari orang pintar di desaku. Orang pintar yang membuat banyak anak kecil enggan menangis setelah minum air darinya.
Baca Juga:
Baca Juga:
0 komentar: