"Menunggu"
Aku turun dari motor, berjalan ke jembatan dan berdiri bersandar di birai jembatan sebelah barat. Cat hijau dan merah jembatan ini tampak mengkilat memantulkan cahaya matahari sore. Belum ada sedikit pun bagian yang dikusamkan oleh matahari maupun hujan.
Sudah setengah jam aku menunggu di sini—dia belum juga datang. Kubaca lagi pesan darinya untuk memastikan. Benar, dia ingin bertemu dan memintaku menunggunya di jembatan ini—ada sesuatu yang ingin dia katakan. Mungkin sekarang dia masih mengerjakan pekerjaan rumahnya: entah memasak, entah menyapu, entah yang lain. Sejak ibunya meninggal, semua pekerjaan yang dulu dikerjakan ibunya sekarang dia yang mengerjakan dan aku yakin setelah itu dia pasti menemuiku.
Sore ini sepi. Tidak banyak orang yang melintas meskipun jembatan ini menyambungkan jalan kecamatan yang menghubungkan dua desa—jalan berpaving yang bergelombang dengan genangan-genangan sisa air hujan kemarin. Di sawah yang menghampar di kanan kiri jalan terlihat hanya ada empat orang. Padi sudah dipupuk dua kali, tidak banyak yang harus dikerjakan, kalaupun ada, mungkin hanya menyiangi rumput atau memberi makan tikus dengan rendaman nasi aking bercampur racun.
Pegal berdiri, aku melompat untuk duduk di atas birai dengan kaki menggantung. Sambil membentur-benturkan tumit ke birai, berkali-kali kulihat arah utara: pandanganku hanya menangkap anak kecil yang bermain di pinggir jalan dan bangkai tikus kecil yang gepeng dan menempel di paving, dan dia belum juga tampak.
Aku kirim pesan ke dia: pesanku tidak dibaca.
Rumahnya hanya satu kilometer dari jembatan ini, tetapi aku tidak mungkin ke sana, dia selalu melarangku datang kerumahnya. Dia hanya tinggal dengan bapaknya dan bapaknya tidak suka ada laki-laki menemuinya. Kuputuskan untuk menunggunya sampai dia datang.
Aku telepon dia: teleponku juga tidak diangkat.
Matahari sore sudah semakin turun, empat orang di sawah tadi sudah pulang, anak kecil di pinggir jalan tadi tidak tampak; bangkai tikus masih menempel di paving, dan aku masih menempel di birai jembatan. Ponselku bergetar: dia menelepon: kuangkat teleponnya: dia menangis. Dia minta maaf, dan berkata, "Kita bertemu besok saja, tunggu di jembatan itu lagi, ada sesuatu yang ingin kukatakan."
0 komentar: